Rabu, 29 September 2010

pemikiran plato

Dialog-dialog Plato

Pemikiran-pemikiran Plato tertuang secara utuh dihadapan kita dalam bentuk dialog-dialog. Dialog adalah bentuk sastra baru yang berkembang di dalam masyarakat Yunani kuno sejak berkembangnya demokrasi dan kematian Sokrates. Dialog Plato tentang Sokrates lebih mengupas isi tulisannya.
Ada dua hal yang menjadi masalah dalam dialog-dialog ini:
  1. Historisitas Sokrates. Apakah Sokrates yang dilukiskan dalam dialog Plato itu sungguh merupakan gagasan-gagasan Sokrates? Ada kesan Sokrates adalah tokoh ciptaan Plato, figur wayang.
  2. Teka-teki tentang Sistem Filsafatnya sebagai suatu keseluruhan. Plato tidak hanya menulis dialog (tulisan) namun juga mengajar di Akademia (lisan). Ajarannya mengenai idea kemungkinan hanyalah sebuah bab dari suatu totalitas pemikiran yang masih tersembunyi.
Dengan demikian dihadapan karya-karya itu kita tidak bisa begitu saja menangkap pemikiran Plato secara menyeluruh. Ada dua sebabnya:
  1. Teknik Biografis, genetis, dan sistematis tidak bisa dipakai secara terpisah-pisah karena ketiganya tidak bisa diperoleh (tentang Plato) secara utuh.
  2. Sistem ajaran Plato sulit direkonstruksikan mengingat banyaknya lapisan intepretasi yang dapat dimunculkan dalam karya-karyanya.

Ajaran tentang Idea-idea

Ajaran tentang idea –idea adalah inti dan dasar seluruh filsafat Plato.
Ide yang dimaksud Plato berbeda dengan yang dimaksud oleh orang modern. Ide bagi Plato adalah sesuatu yang bersifat obyektif. Ide terlepas dari subyek yang berpikir. Ide tidak diciptakan dan tergantung pada pemikiran kita. Justru karena ada idea-idea yang berdiri sendiri maka pemikiran kita dimungkinkan.

Adanya Idea-idea

Filosofi Sokrates; menentukan hakekat atau esensi keadilan dan keutamaan lain. Plato meneruskan dan melangkah lebih jauh lagi. Menurut Plato: esensi memiliki realitas, terlepas dari segala perbuatan konkret (idea keadilan, idea keberanian, dan idea yang lain itu ada).
Ilmu Pasti (hal yang diutamakan di Akademia dan tentunya hal ini dipengaruhi oleh kaum Pythagorean). Ilmu pasti berbicara mengenai garis, segitiga, lingkaran pada umumnya.
Contohnya: Segitiga ideal dan sempurna yang merupakan idea dengan segitiga tiruan tak sempurna dari idea segitiga; idea “yang bagus” dari sehelai kain dimana idea yang bagus merupakan “yang bagus” sendiri, secara sempurna dan tak tercampur oleh sesuatu yang lain (dalam hal ini kain).

Dua Dunia dan Dua Jenis Pengenalan

No.
Dunia
Sifat Dunia
Pengenalan
Sifat Pengenalan
1
Jasmani-Indrawi
MENJADI – BECOMING
Berubah, pluraritas, tidak sempurna
benda-benda jasmani
doxa – opinion
Tidak menghasilkan kepastian
2
Idea-idea
ADA -BEING
Abadi, sempurna, singular
Idea-idea
epistêmê - knowledge
Menggunakan rasio, cocok untuk ilmu pengetahuan
Kedua hal ini tertuang dalam dialog Plato yang rumit Politeia. Ia menjelaskannya melalui tiga perumpamaan, yaitu:
    • Perumpamaan tentang Matahari, malam – doxa, siang – epistêmê.
    • Perumpamaan tentang Garis
Keterangan:
A – C : EPISTEME (pengetahuan), Ada dan yang terpikirkan. Pengetahuan sejati dan kebenaran.
C – E : DOXA (pendapat), Menjadi dan yang terlihat.
A – B : NOESIS (rasio); penalaran murni, abstrak, dialektis serta insight ke dalam atau intuisi tentang asas-asas pertama. Filsafat (idea transparan tanpa distorsi)
B – C : DIANOIA (Intelek); deduksi hipotesis, penalaran matematis, rasio diskursif. Asas-asas geometri
C – D : PISTIS (Kepercayaan)
D – E : EIKASIA (Ilusi); perkiraan, khayalan, kebingungan.

Gambar diatas juga mewakili hirarki pengetahuan menurut Plato.
    • Perumpamaan tentang Goa (Dialog Politeia): orang-orang dalam gua, bayangan dari obor, orang keluar dari gua dengan susah payah, kenyataan, orang itu kembali lagi ke dalam gua, menjelaskan kenyataan, orang-orang dalam gua tidak percaya.
Ada lima pemikiran Plato yang dapat kita temukan dalam perumpamaan di goa yakni: mengenai ontologi, epistemologi, etika, filsafat pendidikan, dan antropologi.

Memperdamaikan Herakleitos dengan Parmenides

Plato berhasil memperdamaikan ajaran kedua filsuf ini melalui ajarannya mengenai dua dunia. Pandangan Herakleitos termasuk dunia jasmani (dunia dalam perubahan)sedangkan pandangan Parmenides masuk dalam dunia ideal (dunia dalam realitas yang tetap).

Ajaran tentang Jiwa

Plato memandang Manusia sebagai makhluk yang terpenting diantara semua makhluk.
Plato menganggap jiwa adalah pusat atau inti sari kepribadian manusia. Dalam hal ini ia dipengaruhi oleh Sokrates, Orfisme dan Mazhab Pythagorean.

Kebakaan Jiwa

Jiwa manusia bersifat baka. Plato berargumen dalam dialognya mengenai kesamaan yang terdapat antara jiwa dan idea-idea. Ia menuruti prisip “yang sama mengenal yang sama” (filsafat Yunani sejak Empedokles). Jiwalah yang mengenal idea-idea bukan badan. Idea bersifat abadi dan tidak berubah. So…Jiwa bertentangan dengan badan dan merupakan makhluk yang tidak berubah dan tidak akan mati.
Jiwa menjadi immortal karena praeksistensi jiwa (mendahului badan) dan posteksistensi jiwa (setelah badan musnah).
Dialog Phaidros. Plato menganggap jiwa sebagai prinsip yang menggerakkan badannya sendiri dan oleh karenanya juga dapat menggerakkan badan.
Dalam Phaidros, Plato memberikan hierarki bentuk-bentuk kehidupan. Pada awalnya Demiurgos menciptakan jiwa dimana jiwa itu memiliki kesamaan dengan idea. Kemudian berinkarnasi (1)menjadi filsuf / seniman (2)seorang Raja yang patuh hukum (3)negarawan, kepala keluarga / pedagang (4) sebagai pesenam/tabib (5) imam (6) penyair (7) pengrajin/petani (8) sofis/penjilat rakyat (9) sebagai tiran. Kemudian jiwa tersebut kembali ke bintangnya.
Plato tidak memberikan detail jelas mengenai cara kebakaan jiwa (mite nasib jiwa setelah kematian badan; dialog Giorgias). “Setelah kematian jiwa diadili, yang baik akan dibawa ke pulau-pulau yang bahagia sedangkan yang hidup jahat akan menderita siksaan selamanya.

“Bagian-bagian” jiwa

No.
Bagian (merê = fungsi) Jiwa
Keutamaan Khusus
Dalam Phaidros (mite: jiwa adalah seorang sais yang mengendarai kuda bersayap)
Dalam Dialog Timaios
1
bagian rasional (to logistikon)
Kebijaksanaan (phronêsis / sophia)
Sais hendak mencapai puncak langit tertinggi untuk memandang kerajaan idea-idea.
Kepala
2
bagian keberanian (to thymoeides) / kehendak
Kegagahan (andreia)
Mau ke atas
Dada
3
bagian keinginan (to epithymêtikon) / hawa nafsu
Pengendalian Diri (sôphrosynê)
Selalu menarik ke bawah
Sekat rongga badan / perut
Keadilan (dikaiosynê) menjamin keseimbangan ketiga bagian jiwa.
Kuda selalu mau ke bawah, mereka kehilangan sayapnya dan jatuh ke atas bumi.
Hanya bagian rasional bersifat baka, yang lain akan mati bersama dengan tubuh.
Dalam bahasa Inggris keempat keutamaan itu disebut the cardinal virtues (temperance, fortitude, prudence, and justice)

Dualisme

Manusia dipandang sebagai dualitas: suatu makhluk yang terdiri dari dua unsur yang kesatuannya tidak dinyatakan. Tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan.
“Tubuh adalah kubur bagi jiwa (sôma sêma) dan jiwa berada dalam tubuh bagaikan dalam penjara” (Mazhab Pythagorean yang dikutip lagi oleh Plato).
Dalam Phaidôn, Plato menyamakan filsafat dengan “latihan untuk mati”. Dengan mencari pengetahuan tentang idea-idea abadi, filsuf sudah memenuhi sedikit keinginan jiwa untuk melepaskan diri dari nasib tubuh.

Jiwa dunia

Dalam Timaios berisikan kosmologi Plato. Perbandingan jagat raya sebagai makrokosmos dengan manusia sebagai mikrokosmos. Seperti manusia, dunia merupakan suatu makhluk hidup yang terdiri dari tubuh dan jiwa.
Tubuh dan jiwa diciptakan oleh “Sang Tukang” (Dêmiurgos), dimana mengarah kepada idea-idea sebagai model. Jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa manusia.

Ajaran tentang Negara

Puncak dari filsafat Plato. Latar belakangnya adalah pengalaman pahit mengenai politik Athena.
Ada hubungan erat antara ajaran Plato di bidang etika dan teorinya tentang negara. Tujuan manusia menurut Plato dan juga Sokrates gurunya adalah eudaimonia, well-being atau hidup yang baik. Plato (dan juga muridnya Aristoteles) yakin bahwa manusia menurut kodratnya merupakan makhluk sosial dan manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau negara. Jadi hidup yang baik menuntu juga negara yang baik. Ada pengaruh timbal balik antara hidup yang baik sebagai individu dan negara yang baik.

Politeia

Bagaimanakah negara ideal (Politeia, Buku II) harus disusun? Inilah pertanyaan yang dijawab Plato dalam Politeia (tata polis atau tata kota, Ing: The Republic). Pokok yang diselidiki didalamnya adalah keadilan (Politeia Buku I).

Dasar Ekonomis

Bagi Plato alasan yang mengakibatkan manusia hidup dalam Polis bersifat ekonomis. Manusia membutuhkan sesamanya (spesialisasi pekerjaan).
Plato menunjukkan kecenderungan manusia untuk menambah kekayaan sebagai asal-usul timbulnya perang (polis mewah jumlah penduduk bertambah maka butuh wilayah. Jadinya mereka merebut wilayah polis tetangga ).

Para Penjaga

Plato berpendapat mengenai spesialisasi pekerjaan, maka ia secara konsekuen berpendirian bahwa hanya segolongan orang saja yang harus ditugaskan untuk melakukan perang. Merekalah penjaga-penjaga (phylakes).
Pendidikan para penjaga (Politeia Buku III) diikuti oleh pria dan wanita. Keduanya dapat menjadi penjaga dan berperang.
1. Pendidikan dimulai dengan mempelajari puisi dan musik.
2. Pendidikan senam.
3. Pendidikan Filsuf (kebenaran, dialektika)

Tiga Golongan

No.
Golongan
Hubungan dengan keutamaan
1.
Kaum Filsuf / Penjaga
Kebijaksanaan
Keadilan
2.
Prajurit / Pembantu
Kegagahan
3.
Petani, Tukang / Ekonom
Pengendalian Diri
Keadilan dimiliki oleh semua golongan karena keutamaan ini memungkinkan setiap golongan dan setiap warga negara untuk melaksanakan tugas masing-masing tanpa campur tangan urusan orang lain (menciptakan keseimbangan).
Negara Ideal Plato bersifat aristokratis (aristos: paling baik dan kratein: menguasai). Plato beranggapan hanya warga negara yang paling baik dan paling cakap boleh diangkat menjadi pemimpin negara. Orang tua dan anaknya bisa masuk ke dalam golongan yang berbeda tergantung dengan kemampuannya.

Komunisme dan Perkawinan

Plato mengamini kehidupan negara akan menjadi pincang bila ada perbedaan antara golongan kaya dan golongan miskin. Maka para penjaga dan pembantu akan hidup menurut prinsip “komunistis”, tidak ada milik pribadi.
Golongan pertama dan kedua juga dilarang untuk memiliki keluarga sendiri (Buku V). “Perkawinan” diadakan dalam rangka suatu pesta religius dan berlaku untuk beberapa hari saja. Yang dipilih adalah hanya mereka yang akan menghasilkan keturunan yang baik dan sehat (eugenetika). Anak (di asrama) dan orang tua tidak saling kenal dan tahu keadaannya masing-masing. Plato mengatakan bahwa orang tua hanya akan memperhatikan seluruh polis, bukan anak-anak mereka saja. Dalam negara yang ideal ia menghapuskan keluarga supaya polis seluruhnya akan menjadi satu keluarga besar.
Negara Ideal seperti ini adalah “suatu contoh yang ada di langit, supaya setiap orang dapat melihatnya dan membentuknya dalam hatinya sendiri” (Politeia, 592). Pandangan ini bukanlah ingin mengkokretkannya karena ada banyak faktor lain yang harus diperhatikan.
Secara konteks Politeia seluruhnya, Plato menghapuskan keluarga adalah sebuah konsekuensi. Ada 3 alasan:
1. Persamaan gender.
2. Jaminan jumlah penduduk yang mantap dan stabil.
3. Komunisme (gol 1 dan 2) dapat dilaksanakan bila keluarga tradisional dihapuskan.
Plato merancang negara dimana kepentingan umum diutamakan. Ia merancang negara dimana keadilan (sesuai dengan Politeia) akan tercapai secara sempurna. Untuk ini Plato memberanikan diri untuk menarik segala konsekuensi yang dapat memungkinkan pelaksanaan cita-cita itu, bahkan jika konsekuensi itu menentang perasaan yang tertanam kuat dalam hati manusia.

Politikos

Di akhir dialog Politikos (negarawan) diberikan semacam definisi tentang keahlian seorang negarawan. Negarawan bertugas menciptakan keselarasan antara semua keahlian lain dalam negara, sehingga keseluruhan yang harmonis terjamin. Keahlian ini mengatur keahlian-keahlian yang lain.
Undang-undang dibuat sejauh dirasakan perlu menurut keadaan konkret.
Undang-undang umum tidak mampu memerintahkan yang paling baik untuk setiap kasus konkret. Untuk membuat UU seperti ini butuh pengetahuan dan kecakapan yang adi-manusiawi (manusia tidak mungkin bisa). Dengan ini Plato meninggalkan cita-citanya dalam Politeia mengenai filsuf yang menjadi pemimpin negara (kurang praktis).
UU secara umum harus dianggap sebagai “The second best”. Karena alasan praktis undang-undang harus dipandang sebagai instansi tertinggi dalam negara dan negarawan yang menyimpang dari undang-undang harus dihukum mati.
Negara berdasarkan pengetahuan seorang filsuf yang membuat UU konkret untuk setiap kesempatan dianggap tidak mungkin.

Nomoi

Dialog tentang undang-undang ini meneruskan persoalan yang telah dibicarakan dalam Politikos. Usulan mengenai UU menjadi instansi tertinggi dalam negara dianggap lebih praktis daripada seorang filsuf yang memegang kekuasaan tertinggi.
Nomoi tidak melukiskan suatu negara ideal melainkan memberikan UU dasar yang dapat diterima oleh polis Yunani sekitar pertengahan abad ke-4. Di sini milik pribadi dan keluarga diijinkan biarpun “komunisme” tetap diakui sebagai ideal. Faktor keadaan setempat, ekonomis dan geografis harus diperhitungkan dalam susunan negara.
Nomoi mengusulkan bentuk negara campuran antara demokrasi dan monarki karena terlalu banyak kelaliman dalam Monarki dan kebebasan dalam demokrasi (2 ekstrem yang sama buruknya). Sistem pemerintahan menurut Nomoi ialah semua petugas dipilih oleh rakyat, tetapi ditambah syarat-syarat supaya hanya mereka yang cakap akan dipilih. Jabatan pemerintahan yang terpenting dipegang oleh “Menteri Pendidikan” (pendidikan prioritas negara dimana didalamnya ada persamaan gender).
Nomoi melukiskan negara yang berdasarkan pertanian bukan perniagaan. Negara terletak min 80 stadia (1 stadia= 185 m) dari laut. Maksud Plato disini adalah polis yang mempunyai pelabuhan mempertebal keserakahan para warga negara. Dalam polis yang dilukiskan oleh Nomoi perniagaan harus dipercayakan kepada orang asing. Dalam Nomoi tidak dituntut lagi suatu komunisme dalam bidang milik. Maka pemilikan tanah yang ada dibagi-bagi tetapi tidak boleh diperjualbelikan.
Undang-undang harus berlaku sebagai seorang bapa yang baik hati, bukan sebagai seorang lalim demikianlah menurut Plato. Dalam hal ini Plato menmberikan contoh praktis bagaimana seorang legislator (pembuat UU) harus mencari persetujuan dan bukan ketundukan buta dari pihak warga negara.

Tanggapan

Awalnya adalah idea dan akankah semuanya hanya tetap menjadi idea? Keideaan ini begitu amat kental dalam alam pikiran Plato. Idea-idea yang ADA belum tentu MENJADI sesuatu yang nyata. Ada kesan dari apa yang diungkapkan Plato dalam Idea, Jiwa dan Negara bahwa pemikirannya ada dalam tataran dunia idea. Kebanyakan pemikiran Plato berada dalam kerangka idea. Misalnya dalam pemikirannya tentang negara yang menghilangkan keluarga tradisional demi mencapai negara yang ideal. Pertanyaannya sekarang yang muncul adalah apakah idea hanya menjadi sebatas idea belaka? Nihil dan sia-sia saja membicarakan mengenai idea yang takkan pernah menjadi. Contohnya mengenai pemikiran negara ideal Plato yang menggunakan ciri komunis ekstrem (milik pribadi dan keluarga). Memang hal itu sulit untuk diungkapkan dalam hal yang nyata. Idea Plato dalam hal ini adalah negara ideal ini terbatinkan dalam diri orang lain sehingga negara ideal itu terwujud sedikit-sedikit. Tapi kenyataannya sampai sekarang, berarti sudah 20 abad ini, proses pembatinan idea ini tidak berjalan secara semestinya. Apakah ada negara-negara di dunia ini yang MENJADI-kan ADA-nya negara ideal Plato ini? Barangkali mereka tahu dan mengerti namun tidak berbuat. Untuk apa berbuat? Bukankah lebih baik tidak berbuat dan mendapatkan keuntungan? Inilah tantangan yang rasanya diberikan Plato kepada kita yang mempelajari pemikirannya yakni membatinkan idea-idea dan sedikit demi sedikit membadankan idea itu.

Daftar Pustaka

Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, hal 106-125, Yogyakarta, Kanisius, cetakan kesebelas, 1994.
Hardiman, Budi, Filsafat Yunani Kuno, hal 83-104, Jakarta, STF Driyarkara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar